Penderitaan dan Pelepasan – SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA

Sebagian orang memang kelihatannya tidak ingin untuk terbebas dari masalah. Jika mereka sedang tidak punya cukup masalah yang bisa dikhawatirkan, mereka akan menyetel sinetron televisi untuk mengkhawatirkan persoalan tokoh-tokoh fiksi didalamnya. Banyak juga yang merasa bahwa ketegangan membuat mereka lebih Hidup, mereka menganggap penderitaan sebagai hal yang mengasyikkan. Agaknya Mereka tidak ingin bahagia, karenanya mereka mau-maunya begitu melekat pada beban mereka.

Dua orang Bhiksu yang merupakan sahabat dekat sepanjang hidup mereka. Setelah mereka meninggal, satu terlahir sebagai dewa disebuah alam surga yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor cacing di seonggok tahi.

Sang dewa segera merasa kehilangan kawan lamanya dan bertanya-tanya di manakah dia terlahir kembali. Dia tidak bisa menemukannya di alam surga yang ditinggalinya, lalu diapun mencari-cari temannya di alam alam surga yang lain. Temannya tidak ada disana pula.

Dengan kekuatan surgawinya, Sang Dewa mencari temannya di dunia manusia, namun tidak ketemu juga. Pasti temanku tidak terlahir di alam hewan begitu pikirnya, tetapi dia memeriksa alam hewan juga, Siapa tahu!? , pikirnya.

Masih saja tidak ada tanda-tanda keberadaan temannya itu. lalu berikutnya Sang dewa mencari ke dunia serangga dan jasad renik dan ….. kejutan besar baginya…., dia menemukan temannya terlahir sebagai seekor cacing dalam seonggok tahi yang menjijikkan!

Ikatan rasa persahabatan mereka begitu kuat, sampai-sampai merasa dia harus membebaskan kawan lamanya ini dari kelahirannya yang mengenaskan tersebut, entah karma apa yang membawanya kesitu.

Sang dewa lalu muncul di depan onggokan tahi tersebut dan memanggil, Hei cacing! Apakah kamu ingat aku? Kita dahulu sama-sama menjadi bhiksu pada kehidupan sebelumnya dan kamu adalah teman terbaikku. Aku terlahir kembali dialam surga yang menyenangkan, sementara kamu terlahir di tahi sapi yang menjijikkan ini.tetapi Jangan khawatir, karena aku akan membawamu ke surga bersamaku. Ayolah kawan lama !

Tunggu dulu ! kata si cacing, Apa sih hebatnya alam surga yang kamu ceritakan itu ? Aku sangat bahagia disini, bersama tahi yang harum , nikmat dan lezat ini. Terima kasih banyak !

Kamu tidak mengerti ! , kata sang dewa, lalu dia melukiskan betapa menyenangkan dan bahagianya berada di alam surga.

Apakah disana ada tahi? tanya si cacing, to the point.

Tentu saja tidak ada!’ dengus sang Dewa.

Kalau begitu , aku emoh pergi ! jawab si cacing mantap. Sudah yah! Dan si cacingpun membenamkan dirinya ketengah onggokan tahi tersebut.

Sang dewa berpikir, mungkin kalau si cacing sudah melihat sendiri alam surga itu, barulah dia akan mengerti. Lalu sang dewa menutup hidungnya dan menjulurkan tangannya kedalam tahi itu, mencari-cari si cacing. Begitu ketemu, dia menariknya.

Hei! Jangan ganggu aku ! , teriak si cacing. Tolooooong ! Darurat ! Aku diculiiiik ! . cacing kecil yang licin itu menggeliat dan meronta sampai terlepas, lalu kembali menyelam ke onggokan tahi untuk bersembunyi.

Sang Dewa yang baik hati ini kembali merogohkan tangannya ke dalam tahi, dapat, dan mencoba menariknya keluar sekali lagi. Nyaris bisa keluar, tetapi karena si cacing berlumuran lendir dan terus menggeliat membebaskan diri, akhirnya terlepas lagi untuk kedua kalinya, dan bersembunyi makin dalam lagi di dalam tahi. Seratus delapan kali sang dewa mencoba mengeluarkan cacing malang itu dari onggokan tahinya, namun si cacing begitu melekat dengan tahi kesayangannya, sehingga dia terus meloloskan diri !

Akhirnya sang dewa menyerah dan kembali ke surga, meninggalkan si cacing bodoh didalam onggokan kotoran kesayangannya.

Posted in Uncategorized

Penderitaan dan Pelepasan – Terbentur

Dalam tahun pertama saya di Thailand, kami sering pergi dari vihara yang satu ke vihara yang lainnya naik truk, duduk di bak belakangnya. Bhikkhu senior duduk di tempat yang paling nyaman, tentu saja, di depan. Kami bhikkhu-bhikkhu junior duduk berjejal di bangku kayu yang keras di belakang. Di atas bak belakang tersebut terdapat kerangka besi yang rendah, yang di atasnya dilapisi terpal untuk melindungi kami dari hujan dan debu.

Jalanannya masih tanah (bukan aspal), tidak terpelihara. Ketika rodanya melintasi sebuah lubang, truk jatuh ke bawah dan bhikkhu-bhikkhu terlompat ke atas. Jeduk! Sudah beberapa kali kepala saya terbentur kerangka besi itu. Tambahan lagi, sebagai bhikkhu yang gundul, saya tidak memiliki “pelindung” yang mengurangi efek benturannya.

Saya memaki setiap kali kepala saya terbentur? Dalam bahasa Inggris tentunya, supaya bhikkhu-bhikkhu Thai itu tidak mengerti. Tapi ketika bhikkhu-bhikkhu Thai yang terbentur kepalanya, mereka hanya tertawa! Saya tidak mengerti. Bagaimana mungkin anda bisa tertawa di saat kepala anda sakit terbentur sebegitu keras? Mungkin, pikir saya, bhikkhu-bhikkhu Thai itu sudah terlalu sering terbentur kepalanya sehingga ada kerusakan otak.

Sebagai bekas seorang ilmuan, saya memutuskan untuk melakukan percobaan. Saya mencoba untuk tertawa, seperti halnya bhikkhu-bhikkhu Thai, sewaktu kepala saya terbentur lain kali, untuk mengetahui bagaimana rasanya. Tahukan apa yang saya temukan? Saya menemukan bahwa jika anda tertawa ketika kepala anda terbentur, sakitnya berkurang banyak.

Tawa membuat hormon endorphin dilepaskan ke aliran darah anda, yang merupakan pereda sakit alami. Hormon itu juga memperkuat sistem kekebalan tubuh anda untuk melawan infeksi. Jadi tertawa sewaktu anda kesakitan itu memang menolong. Kalau anda masih tidak percaya, coba sendiri di lain kali saat kepala anda terbentur.

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa di saat hidup ini menyakitkan, sakitnya berkurang kalau anda melihat sisi lucunya dan mencoba tertawa.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Penderitaan dan Pelepasan – Pria Dengan Empat Istri

Seorang pria yang sukses hidupnya, memiliki empat orang istri. Ketika ajalnya menjelang tiba, dia memanggil istri keempatnya ke sisi ranjangnya, istrinya yang paling baru dan paling muda.

Jelitaku kata si pria, terpikat oleh sosoknya yang legendaries, dalam satu-dua hari lagi aku akan meninggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?

Tidak mau! jawab si gadis termasyhur itu. Aku akan tetap di sini. Aku akan berdoa saat pemakamanmu, tetapi tidak lebih dari itu. Dan dia bergegas keluar dari kamar suaminya.

Penolakan istrinya itu laksana tikaman di hati si pria. Dia telah mencurahkan begitu banyak perhatian kepada istri termudanya. Dia begitu bangga terhadapnya sehingga dia selalu memilihnya sebagai pendamping dalam setiap acara penting. Istri keempatnya telah memberi martabat bagi si pria pada usia tuanya. Mengejutkan sekali menemukan
kenyataan bahwa si istri ternyata tak mencintainya sebesar cinta yang dia berikan kepadanya.

Tetap saja, dia masih punya tiga istri lagi, jadi dia memanggil istri ketiganya yang dinikahinya saat dia separuh baya. Dia telah berjuang begitu keras untuk menggaet istri ketiganya. Dia sangat mencintai istri ketiga yang telah memberinya banyak kebahagiaan. Dia adalah seorang perempuan menarik yang didambakan oleh semua pria; dia pun adalah seorang perempuan yang sangat setia. Dia telah memberikan si pria rasa aman.

Manisku, kata si pria, tak lama lagi aku akan meninggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?

Sama sekali tidak! tukas si perempuan muda yang menggairahkan itu, dengan gaya bisnisnya. Mana bias seperti itu? Aku akan mengadakan upacara pemakaman yang mewah buatmu, tetapi setelah upacara selesai aku akan pergi bersama putramu.

Rencana ketidaksetiaan istri ketiga membuat si pria terguncang sampai ke sumsum tulang. Dia mengusir istri ketiga lalu memanggil istri keduanya. Dia telah hidup lama bersama istri keduanya. Dia tidak begitu nmenarik, tetapi dia selalu ada di sisi suaminya, untuk membantunya memecahkan masalah dan memberikan nasihat yang tak ternilai. Dia adalah sahabatnya yang paling terpercaya.

Kasihku, kata si pria sambil menatap ke sorot mata istrinya, sebentar lagi aku akan meninggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?

Maafkan aku, kata si istri kedua dengan penuh penyesalan, aku tak dapat pergi bersamamu. Aku akan menemanimu sampai di sisi liang kubur, tetapi tidak lebih dari itu.

Hati si orang tua remuk redam oleh penolakan yang bertubi-tubi. Dia memanggil istri pertamanya, yang agaknya selalu dia kenal selamanya. Dia telah mengabaikannya selama tahun-tahun terakhir ini, terutama setelah dia bertemu dengan istri ketiganya yang memikat dan istri keempatnya yang termasyhur itu. Tetapi istri pertamnya inilah yang benar-benar penting baginya, yang bekerja dengan diam dari balik layar. Dia merasa tidak enak hati saat melihatnya berpakaian lusuh dan begitu kurus.

Sayangku, katanya dengan nada memohon, sebentar lagi aku akan meniggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?

Tentu saja aku akan pergi bersamamu, jawab si istri pertama dengan mantap. Aku akan selalu bersamamu dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya.

Istri pertama adalah karma. Istri kedua adalah keluarga. Istri ketiga adalah kekayaan. Istri keempat adalah kemasyhuran.

Bacalah sekali lagi cerita tersebut, sekarang Anda tahu tentang empat istri. Istri manakah yang paling berharga untuk dipelihara? Mana yang akan pergi bersama Anda meninggal?

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Penderitaan dan Pelepasan – Sisi atas daan Sisi Bawah Kematian

Barangkali momen yang paling mengharukan dalam upacara pemakaman adalah ketika peti jenazah diturunkan ke dalam lubang kubur atau, pada proses kremasi, saat tombol ditekan untuk menggerakan peti mati menuju bejana pembakaran. Saat saat itu seolah kenangan fisik terakhir atas orang yang dikasihi berlalu untuk selama-lamanya. Sering kali pada momen itu air mata tak terbendung lagi jatuh berderai.

Momen semacam itu, terutama menjadi sulit di sebuah krematorium di Perth. Di sana, ketika tombol ditekan, peti jenazah turun ke bagian bawah tanah tempat oven berada. Ini dimaksudkan agar bermakna sama dengan pemakaman. Bagaimanapun juga, orang mati yang pergi ke bawah menyiratkan lambang pergi ke neraka! Kehilangan orang-orang yang dikasihi saja sudah cukup berat rasanya; ditambah berat lagi, dengan isyarat kepergian ke dunia bawah.

Oleh karena itu, suatu kali saya pernah mengusulkan untuk membangun kapel krematorium, yang mana ketika pendeta menekan tombol untuk melepaskan kepergian almarhum, peti jenazah akan terangkat dengan anggunnya. Sebuah lift hidrolik sederhana sudah memadai untuk keperluan itu. Saat peti mati mendekati langit-langit, peti itu akan lenyap di tengah gumpalan awan buatan dari es kering, melewati pintu atap menuju rongga di atasnya, diiringi oleh musik-musik surgawi yang manis. Betapa akan menakjubkan sekali dampak psikologis yang ditimbulkannya terhadap orang-orang yang sedang berkabung!

Akan tetapi, seseorang yang mempelajari usulah saya itu menyarankan bahwa usulan ini bisa memupuskan intergritas suatu upacara, terutama pada kasus dimana setiap orang tahu bahwa orang yang berada di dalam peti mati adalah jenis orang yang “sulit pergi ke atas”.

Lalu saya menyumparnakan usulan saya, dengan menyarankan untuk menyediakan tiga buah tombol untuk mencakup semua kasus: sebuah tombol “naik” hanya untuk orang-orang yang baik, sebuah tombol “turun” untuk para bajingan, dan sebuah tombol “datar” untuk mayoritas orang yang biasa-biasa saja. Lantas, dalam rangka menerapkan prinsip – prinsip demokrasi Barat yang kita anut, serta untuk menambahkan gereget terhadap upacara pemakaman yang suram, saya daoat meminta orang-orang yang sedang berkabung untuk mengangkat tangan dan memilih tombol manakah yang akan ditekan! Ini akan membuat upacara pemakaman menjadi peristiwa yang paling dikenang, dan sayang dillewatkan begitu saja.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Penderitaan dan Pelepasan – Dedaunan yang Berguguran

Barangkali kematian yang paling sulit kita terima adalah kematian dari seorang anak. Pada beberapa kesempatan saya pernah diberi kehormatan untuk memimpin upacara pemakaman bagi seorang anak laki-laki atau perempuan, seseorang yang belum lama mengecap pahit manisnya kehidupan. Tugas saya adalah membantu menuntun orang tua yang sedang putus asa, dan juga anggota keluarga yang lainnya, mengatasi siksaan rasa bersalah dan tuntutan obsesif atas jawaban dari pertanyaan, Mengapa?

Saya sering menceritakan kisah perumpamaan berikut ini, yang dikisahkan kepada saya beberapa tahun silam di Thailand.

Seorang bhikkhu hutan yang sederhana tengah bermeditasi sendirian di sebuah pondok jerami di tengah hutan. Pada suatu larut malam, terjadilah badai musim hujan yang garang. Angin menderu-deru bagaikan suara mesin jet dan hujan yang deras menerpa pondoknya. Semakin malam beranjak pekat, badai makin bertambah liar. Mula-mula, dahandahan pohon terdengar tercerabut dari batangnya. Lalu seluruh bagian pohon terengut oleh angin ribut dan dihempaskan ke tanah dengan suara sekeras guntur.

Sang bhikkhu segera sadar bahwa pondok jeraminya tak akan sanggup melindunginya. Jika sebuah pohon tumbang menimpa pondoknya, atau meskipun cuma sebuah dahan besar, pondoknya akan rata dengan tanah dan meremukkannya sampai mati. Dia tidak tidur sepanjang malam. Seringkali sepanjang malam itu, dia seolah-olah mendengar para raksasa hutan mendobrak ke permukaan tanah dan hatinya berdegup untuk sesaat.

Beberapa jam sebelum fajar menyingsing, secepat datangnya, begitu pula badai itu berlalu. Di pagi hari, sang bhikkhu keluar dari pondoknya untuk memeriksa kerusakan yang terjadi. Banyak dahan besar dan dua pohon berukuran lumayan yang luput mengenai pondoknya. Dia merasa beruntung masih hidup. Apa yang tiba-tiba menarik perhatiannya bukanlah pohon-pohon yang tumbang dan dahan-dahan patah yang berserakan dimana-mana, tetapi dedaunan yang sekarang menyebar menutupi lantai hutan.

Seperti dugaannya, kebanyakan dedaunan yang berguguran adalah daundaun yang berwarna coklat tua, yang telah memenuhi umur kehidupannya. Di antara dedaunan yang berwarna coklat terdapat banyak daun yang kuning. Bahkan terdapat pula beberapa daun yang hijau. Dan daun-daun yang berwarna hijau itu masih segar dan cerah sehingga sang bhikkhu tahu bahwa dedaunan itu baru saja jatuh dari pucuknya. Pada saat itulah hati sang bhikkhu memahami sifat kematian sebagaimana adanya.

Dia ingin menguji kebenaran dari pengetahuan yang baru saja dia pahami itu, lalu dia mendongak ke arah dahan-dahan pohon itu. Cukup meyakinkan, hampir sebagian besar dedaunan yang tertinggal di pohonnya adalah dedaunan hijau yang sehat segar, pada kehidupan dininya. Namun, meskipun banyak dedaunan muda yang gugur di atas
tanah, ada sebagian daun berwarna coklat tua peot dan keriting yang tetap bertahan didahannya. Sang bhikkhu tersenyum, mulai hari itu, kematian dari seorang anak tak akan pernah lagi membingungkannya.

Ketika badai kematian datang menghempaskan keluarga kita, badai itu biasanya mengambil orang-orang yang sudah tua, dedaunan yang coklat burik . Badai itu juga mengambil orang-orang yang berusia paruh baya, seperti daun-daun kuning di pohon. Kadang, anak-anak belia pun meninggal juga, pada usia dini mereka, seperti halnya dedaunan yang berwarna hijau. Dan suatu kali kematian juga merenggut kehidupan dari anak-anak yang kita kasihi, seperti badai merenggut tunas yang masih hijau. Inilah sifat hakiki dari kematian dalam kehidupan kita, sebagaimana hakikat badai di sebuah hutan.

Tak seorang pun yang perlu disalahkan dan tak seorang pun yang harus merasa bersalah atas kematian dari seorang anak. Inilah sifat alami dari segala sesuatu. Siapa yang bisa menyalahkan badai? Hal ini dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan mengapa anak-anak meninggal. Jawabannya sama dengan mengapa sebagian daun yang masih hijau berguguran dalam sebuah badai.

 

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Penderitaan dan Pelepasan – Kesedihan, Kehilangan, dan Perayaan Hidup

Kesedihan adalah sesuatu yang sering kita tambahkan ke dalam kehilangan. Ini merupakan respon yang kita pelajari, spesifik pada budaya tertentu saja. Hal ini bukannya tidak terhindarkan.

Saya menyadari hal ini melalui pengalaman saya sendiri sewaktu tercemplung selama lebih dari delapan tahun dalam budaya Buddhis – Asia. Dalam tahun-tahun pertama di sebuah wihara hutan di sebuah sudut Thailand yang terpencil, budaya dan pemikiran Barat sama sekali tidak dikenal. Wihara saya sering dipakai sebagai tempat pembakaran
mayat oleh penduduk dusun sekitar. Hampir selalu ada kremasi tiap minggunya. Dalam ratusan upacara kematian yang saya saksikan di sana pada akhir tahun 1970-an, tidak pernah satu kali pun saya melihat ada yang menangis. Saya bercakap-cakap dengan anggota keluarga yang ditinggalkan pada hari-hari berikutnya dan tetap saja tidak ada tandatanda kesedihan. Bisa disimpulkan bahwa tidak ada kesedihan di sana. Akhirnya saya mengetahui bahwa di bagian timur laut Thailand pada masa itu, sebuah wilayah yang telah diresapi oleh ajaran Buddha selama berabad-abad, peristiwa kematian diterima secara luas dengan cara yang sangat berbeda dengan teori Barat mengenai kesedihan dan kehilangan.

Tahun-tahun di sana mengajarkan saya bahwa ada alternatif lain dari kesedihan. Bukan berarti bersedih itu salah, hanya saja ada cara lain. Kehilangan orang yang kita sayangi bisa dipandang dengan cara lain, cara yang menghindari kepedihan berkepanjangan.

Ayah saya sendiri meninggal ketika saya masih berusia enam belas tahun. Bagi saya, dia adalah orang yang hebat. Dialah yang telah menolong saya menemukan arti cinta dengan kata-katanya, “Apa pun yang kamu lakukan dalam hidupmu, Nak, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu.” Walaupun saya sangat mencintainya, saya tidak pernah menangis pada acara pemakamannya. Juga tidak sesudahnya. Saya tidak pernah merasa ingin menangis atas kematiannya yang dini. Perlu beberapa tahun bagi saya untuk memahami keadaan emosi saya seputar kematiannya. Saya menyadarinya melalui cerita berikut, yang saya bagikan kepada Anda di sini.

Sebagai anak muda, saya menikmati musik, segala macam musik mulai dari rock sampai klasik, jazz sampai musik rakyat. London adalah kota yang asik untuk ditinggali pada tahun 1960-an sampai awal tahun 1970-an, terutama kalau Anda gemar musik. Saya ingat saat menyaksikan penampilan pertama yang canggung dari Led Zeppelin di sebuah kelab kecil di Soho. Pada kesempatan lain, hanya segelintir di antara kita yang
pernah menonton orang yang kelak dikenal sebagai Rod Stewart menyanyi dalam sebuah grup rock di loteng sebuah pub kecil di London Utara. Saya punya begitu banyak kenangan berharga akan nuansa musik di London pada masa itu.

Pada penghujung kebanyakan konser, saya akan berteriak, “Lagi! Lagi!” bersama dengan penonton lainnya. Biasanya, grup band atau orkestranya akan bermain lagi selama beberapa saat. Namun akhirnya, mereka harus berhenti juga, mengemasi peralatan dan pulang. Demikian pula saya. Dalam kenangan saya, sepertinya setiap kali saya berjalan pulang pada malam hari dari kelab, pub, atau gedung konser, selalu hujan. Ada sebuah
kata khusus untuk menggambarkan jenis hujan rintik-rintik yang sering terjadi di London, yaitu “gerimis”. Sepertinya selalu gerimis, dingin, dan suram, saat saya meninggalkan gedung konser. Namun, sekalipun saya mengetahui di dalam hati bahwa kemungkinan saya tidak akan mendengar grup band itu lagi, bahwa mereka telah meninggalkan hidup saya selamanya, tidak sekali pun saya merasa sedih ataupun ingin menangis. Sewaktu saya berjalan di tengah malam yang dingin, basah, dan gelap di London, raungan musik mereka masih bergema di kepala saya, “Musik yang hebat! Penampilan yang gemilang! Betapa beruntungnya saya berada di sana pada saat itu!” Saya tidak pernah merasa sedih pada akhir sebuah konser yang bagus.

Tepat seperti itulah perasaan saya sepeninggal ayah saya. Seolah seperti sebuah konser hebat yang akhirnya usai. Sebuah pertunjukan yang indah. Saya, seperti yang sudah-sudah, berteriak nyaring, “Lagi! Lagi!” saat mendekati penampilan pamungkas. Ayah tersayang yang sudah tua berjuang keras untuk bertahan hidup beberapa lama lagi untuk kami. Tetapi saatnya tiba juga, saat dia harus “mengemasi peralatan dan
pulang”. Ketika saya berjalan keluar dari krematorium di Mortlake seusai upacara menuju gerimis dingin London saya ingat betul gerimisnya dalam hati saya tahu bahwa saya tidak akan bisa bersamanya lagi, dia telah meninggalkan hidup saya selamanya, namun saya tidak merasa sedih; tidak juga menangis. Apa yang saya rasakan di hati saya
adalah, “Ayah yang sungguh hebat! Hidupnya merupakan inspirasi yang luar biasa. Betapa beruntungnya saya ada di sana pada saat itu. Betapa beruntungnya saya telah menjadi puteranya.” Pada waktu saya menggenggam tangan ibu saya menuju perjalanan panjanga masa depan, saya merasakan kebahagiaan yang sama dengan yang sering saya rasakan seusai sebuah konser hebat yang pernah saya tonton. Saya tak kan pernah melupakannya.

Terima kasih, Ayah.

Kesedihan hanyalah melihat apa yang telah terenggut dari kita. Perayaan hidup adalah menyadari segala berkah yang ada pada kita, dan merasa bersyukur karenanya.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Penderitaan dan Pelepasan – Yang Ringan-ringan dari Kematian

Sebagai biksu, saya sering berurusan dengan kematian. Memang sudah bagian dari tugas saya untuk memimpin upacara pemakaman secara Buddhis. Akibatnya, saya jadi kenal secara pribadi dengan banyak pengurus pemakaman di Perth. Barangkali karena tuntutan pekerjaannya, mereka harus tampil dengan serius, padahal secara pribadi mereka punya selera humor yang baik.

Sebagai contoh, seorang pengurus pemakaman menceritakan kepada saya tentang sebuah pekuburan di Australia Selatan yang terletak di sebuah rongga tanah liat. Katanya kepada saya, beberapa kali mereka telah menyaksikan peristiwa yang sama, ketika mereka baru menurunkan peti mati ke dalam lubang kubur, semburan keras muncul dan air pun menggenangi lubang itu. Selama pendeta memanjatkan doa, peti mati itu pun perlahan-lahan mengapung hingga muncul ke permukaan!

Lalu ada cerita tentang seorang padri di Perth yang,dalam tugas pelayanan perdananya, secara kurang hati-hati telah menyentuh semua tombol yang ada di mimbar. Seketika di tengah-tengah pidatonya, peti mati mulai bergerak melewati tirai, melindas kabel mikropon dan terompet panggilan terakhir menggema di seluruh kapel! Tak disangkal lagi bahwa almarhum pastilah seorang pecinta damai.

Seorang petugas pemakaman punya kebiasaan untuk menceritakan lelucon kepada saya sambil berjalan bersama-sama di depan mobil jenazah, saat memimpin iring-iringan, hingga sampai di sisi liang kubur. Pada setiap bagian pokok dari leluconnya, yang mana semuanya memang sangat lucu, dia akan menyikut rusuk saya dan berusaha membuat saya tertawa. Saya mengerahkan segenap daya untuk menahan diri supaya tidak tertawa terlalu keras. Jadi, saat kami mendekati tempat upacara,
saya harus tegas-tegas mengatakan kepadanya supaya berhenti melucu agar saya dapat menampilkan paras yang lebih pas dengan suasana upacara pemakaman. Tetapi teguran itu malah merangsangnya untuk mulai melontarkan lelucon lain, dasar sinting!

Selama bertahun-tahun, saya belajar bagaimana cara menghidupkan suasana pemakaman Buddhis yang saya pimpin. Beberapa tahun yang lalu saya memberanikan diri untuk menceritakan lelucon untuk pertama kalinya di sebuah upacara pemakaman. Ketika saya baru saja memulai lelucon itu, pengurus pemakaman yang berdiri di belakang orang-orang yang sedang berdukaita, dapat menduga apa yang akan saya lakukan dan melotot kepada saya, mencoba menghentikan saya. Tidak pantas menceritakan lelucon di upacara pemakaman, tetapi saya berkukuh. Muka si pengurus pemakaman berubah lebih pucat ketimbang wajah si mayat. Pada akhir lelucon itu, pecahlah tawa yang menggema di antara orang orang yang sedang berkabung, dan seringai si pengurus pemakaman menampakan kelegaan. Keluarga dan teman teman
almarhum mengucapkan selamat kepada saya sesudahnya. Mereka berkata bahwa almarhum pastilah ikut menikmati lelucon itu dan betapa senangnya almarhum karena semua orang yang dikasihinya mengiringi kepergiannya dengan senyuman. Sekarang saya sering melontarkan lelucon itu di upacara pemakaman. Mengapa tidak? Apakah anda mau keluarga dan teman anda mendengarkan lelucon pada saat upacara pemkaman anda? Setiap kali menanyakan hal itu, jawabannya selalu “Ya!”

Jadi apa sih leluconnya?

Sepasang suami istri yang sudah tua telah hidup bersama dalam jangka waktu yang lama, sampai2 ketika salah satu dari mereka meninggal, yang satu menyusul beberapa hari kemudian Jadi mereka pun muncul bersama-sama di surga.

Sesosok malaikat cantik membawa mereka berdua ke sebuah wisma megah di puncak sebuah jurang yang langsung berhadapan dengan samudra lepas.

Dalam kehidupan di dunia, hanya para miliarder yang mampu memiliki real estate luar biasa seperti itu Sang malaikat menyatakan bahwa wisma megah itu adalah milik mereka sebagai pahala surgawi.

Si suami adalah seorang yang praktis, dan tiba-tiba berkata, :
”Wah, ini bagus sekali, tetapi saya rasa kami tidak mampu membayar pajak bumi dan bangunan untuk properti sebesar ini.”

Sang malaikat tersenyum manis dan memberi tahu mereka bahwa di surga tak ada pajak.
Kemudian dia membawa pasangan itu melihat-lihat ke bagian dalam rumah megah itu.
Setiap ruangan dilengkapi dengan cita rasa mewah. sebagian dengan perabot antik,
sebagian dengan perabot modern.

Lampu kristal yang tak ternilai harganya menghiasi langit-langit rumah. Keran dari emas padat berkilauan di setiap kamar mandi. Ada pula sistem DVD berikut televisi layar lebarnya.

Pada penghujung tur itu, sang malaikat berkata bahwa jika ada apapun yang mereka tak sukai, silahkan memberitahu dia dan akan langsung menggantinya.

Semua itu adalah pahala surgawi untuk mereka.

Si suami mulai menghitung-hitung nilai semua perlengkapan rumah itu dan berkata,
“Semuanya sangat mahal, saya rasa kami tak akan sanggup membayar premi asuransi untuk semua properti ini” Sang malaikat menaikkan bola matanya dan dengan lembut memberitahu mereka bahwa para pencuri tidak diperkenankan masuk ke surga. Jadi asuransi properti tidak diperlukan lagi.

Lalu dia menuntun mereka menuruni tangga menuju sebuah garasi besar rumah itu.

Didalamnya terdapat sebuah mobil SUV 4 – wheel drive model terbaru, yang berada disamping sebuah limusin Rolls-Royce Touring yang mengkilat, dan mobil ketiga adalah
Ferrari sport merah limited edition yang atapnya bisa dibuka. Dalam kehidupannya didunia, si suami selalu mendambakan punya mobil sport hebat seperti itu,
tetapi itu hanya sebatas impiannya. Sang malaikat bilang jika mereka ingin mengganti modelnya,atau warnanya, jangan sungkan-sungkan memberitahu dia.

Semua itu adalah pahala surgawi untuk mereka.

Si Suami bergumam, ” Sekalipun kami sanggup membayar biaya STNK untuk mobil-mobil itu, padahal sesungguhnya kami tak mampu, buat apa sih mobil sport supercepat zaman sekarang?

Saya akan hanya kena denda ngebut.” Sang malaikat menggeleng-gelengkan kepala dan dengan sabar memberitahu mereka bahwa di surga tidak ada biaya registrasi kendaraan, dan juga tak ada kamera pengintai kecepatan. Si suami boleh mengebut semaunya dengan Ferrari-nya.

Kemudian sang malaikat membuka pintu garasi. Diseberang jalan terbentang lapangan golf 18-lubang yang menakjubkan. Sang malaikat berkata bahwa di surga mereka tahu kalau si suami sangat menggemari golf, oleh karena itu mereka sengaja menambahkan lapangan golf indah yang dirancang sendiri oleg Tiger Wood!

Tetap saja si suami terlihat murung ketika dia berkata, “Ditaksir dari gedungnya saja kelihatannya itu adalah klub golf yang sangat mahal, saya rasa saya tak sanggup membayar biaya keanggotaannya.”

Sang Malaikat mengerang, tetapi segera memulihkan kesabaran ilahinya, lalu meyakinkansi suami bahwa : “tak ada biaya apapun di surga” Lagipula dilapangan golf surga, Anda tidak perlu antri untuk memukul bola, bola tak akan pernah masuk ke bunker, dan rerumputannya dirancang supaya dengan cara apapun Anda memukul, bola akan selalu bergulir ke lubang.

Semua itu adalah pahala surgawi untuk mereka.

Setelah sang malaikat meninggalkan mereka berdua, si suami mulai memarahi istrinya.
Begitu marahnya dia kepada istrinya, sampai dia meneriakinya dan mengomelinya dengan galak. Si istri tak mengerti mengapa suaminya begitu marah

“Mengapa kamu begitu marah kepadaku?” katanya memelas.
“Kita memiliki rumah megah yang indah ini berikut perlengkapan mewahnya. Kamu mendapatkan Ferrari idamanmu yang dapat kamu kebut sesukamu, dan sebuah lapangan golf persis disebrang jalan,
Mengapa kamu begitu marah kepadaku?’

“Karena, istriku,”si suami berkata dengan getir. ”Andai saja kamu tidak memasakkan makanan-makanan yang sehat untukku, maka aku sudah akan berada disini sejak bertahun-tahun lalu!”

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Penderitaan dan Pelepasan – Menjenguk Orang Sakit

Sewaktu menjenguk seseorang di rumah sakit, banyak sekali yang mengatakan,
“Bagaimana rasanya hari ini?”

Betapa konyolnya ucapan itu! Tentu saja keadaan mereka buruk, kalau tidak pastilah mereka tidak berada di rumah sakit kan? Lagi pula, katakata klise tersebut membuat pasien menjadi tertekan mentalnya. Mereka tentu merasa kurang sopan kalau mereka membuat penjenguk menjadi sedih dengan berkata yang sebenarnya mengenai keadaan mereka yang payah. Bagaimana mereka bisa mengecewakan seseorang yang telah susah payah datang mengunjungi mereka di rumah sakit dengan menjawab bahwa mereka kesakitan, payah, seperti seonggok karung bekas? Oleh karena itu, mereka terpaksa berbohong, berkata, “Saya sudah baikan hari ini”, dengan perasaan bersalah bahwa mereka tidak berbuat apa-apa untuk cepat sembuh. Begitulah, begitu banyak pengunjung rumah sakit yang justru membuat pasien merasa lebih sakit!

Seorang bhikkhuni Australia tradisi Tibetan dalam keadaan sekarat akibat menderita kanker parah di sebuah rumah sakit di Perth. Saya mengenalnya sudah beberapa tahun dan cukup sering menjenguknya.

Suatu hari dia menelpon saya di vihara, meminta agar saya mengunjunginya hari itu juga, karena dia merasa waktunya sudah dekat. Saya menghentikan segala aktifitas saya dan segera meminta seseorang mengantarkan saya ke rumah sakit di Perth yang berjarak tujuh puluh kilometer. Sewaktu lapor di resepsi rumah sakit tersebut, suster jaga mengatakan bahwa si bhikkhuni Tibetan tersebut memberi intruksi agar tidak seorangpun diijinkan menjenguknya.

“Tapi saya sudah datang begitu jauh khusus untuk menjenguknya,” saya berkatakalem.

“Maaf”, kata sang suster, “Dia tidak ingin menerima segala pengunjung dan kitaharus menghormatinya.”

“Tidak mungkin,” protes saya, “Dia telah menelpon saya sekitar satu setengah jamyang lalu dan meminta saya datang.”

Suster tua itu memandang saya dan meminta saya untuk mengikutinya. Kami berhenti di depan kamar sang bhikkhuni dan si suster menunjuk sebuah kertas yang diplester di pintunya: “TIDAK MENERIMA PENGUNJUNG!”

“Lihat!” kata si suster.

Begitu saya memeriksa kertas tersebut, saya membaca kata-kata lain, ditulis dengan huruf-huruf yang lebih kecil di bawahnya: “… kecuali Ajahn Brahm.”

Akhirnya saya boleh masuk.

Saat saya bertanya kepada si bhikkhuni, mengapa dia menaruh kertas pengumuman tersebut dengan perkecualian, dia menjelaskan bahwa setiap kali teman dan kerabat datang mengunjunginya, mereka sangat sedih dan tertekan menyaksikan keadaan dan kondisinya yang parah. dan itu membuat perasaannya menjadi lebih buruk. “Kena kanker sudah cukup jelek dan saya tidak ingin menambahnya dengan berhadapan dengan segala problem mental penjenguknya lagi”

Kemudian dia berkata bahwa cuma saya satu-satunya teman yang memperlakukannya sebagai seorang pribadi, bukan sebagai seseorang yang sekarat; teman yang tidak sedih melihatnya semakin hari semakin kurus dan loyo, malahan menceritakan lelucon-lelucon dan membuatnya tertawa. Saat itu saya menghiburnya dengan lelucon-lelucon, sementara dia mengajarkan saya bagaimana menolong seorang teman yang sedang menghadapi kematian. Saya belajar darinya bahwa saat menjenguk seseorang di rumah sakit, berbicaralah kepada pribadinya dan biarkan penyakitnya menjadi urusan dan pembicaraan dokter serta suster saja.

Dia wafat kurang dari dua hari setelah kunjungan saya.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Penderitaan dan Pelepasan – Apa Sakit itu Salah?

Dalam beberapa ceramah, saya sering meminta hadirin mengangkat tangan jika mereka pernah jatuh sakit. Hampir semua orang mengangkat tangannya ( mereka yang tidak mengangkat tangannya bisa jadi sedang tertidur atau sedang tersesat dalam fantasi seksualnya!). Menurut saya, ini membuktikan bahwa jatuh sakit itu adalah lumrah. Pada kenyataannya, adalah aneh jika anda tidak pernah jatuh sakit dalam hidup anda. Jadi mengapa, tanya saya, saat ke dokter, Anda bilang,” Ada sesuatu yang tidak beres dengan saya, dok?”? Padahal, akan ada yang tidak beres jika anda tidak pernah sakit sama sekali. Jadi orang yang waras seharusnya bilang,” Saya beres-beres saja, Dok, saya sakit lagi nih!”

Kapan pun Anda menganggap penyakit sebagai sesuatu yang salah, Anda menambahkan ketegangan yang tak perlu, bahkan juga rasa bersalah, ke puncak kesengsaraan. Dalam novel abad ke-19 yang berjudul Erehwon, Samuel Butler membayangkan suatu masyarakat di mana penyakit dianggap sebagai suatu kejahatan dan orang yang sakit akan dipenjarakan. Pada sebuah bagian yang tak terlupakan dari buku tersebut, si terdakwa, yang tengah tersedu-sedu dan bersin-bersin di atas mimbar, dicaci-maki sebagai pembunuh berantai oleh sang hakim. Ini bukan kali pertama dia terpergok menderita flu oleh sang hakim. Lebih lanjut, itu semua adalah salahnya sendiri karena memakan makanan yang tidak sehat, kurang berolahraga, dan mengikuti gaya hidup yang tidak sehat. Dia dihukum penjara selama beberapa tahun.

Berapa banyak dari kita yang menjadi merasa bersalah manakala kita sakit?

Seorang rekan biksu telah menderita suatu penyakit tak dikenal selama beberapa tahun. Dia menghabiskan hari demi hari, minggu demi minggu, berbaring di ranjang sepanjang hari, terlalu lemah bahkan hanya untuk berjalan keluar kamar. Pihak wihara itu telah membiayai berbagai jenis pengobatan, baik medis maupun alternatif, dalam upaya menyembuhkannya, tetapi tampaknya tak ada yang berhasil. Ketika dia merasa sedikit baikan, dia berjalan terhuyung-huyung beberapa langkah, lalu tumbang lagi berminggu-minggu. Para anggota wihara sering berpikir bahwa dia akan segera meninggal.

Suatu hari, kepala wihara yang bijaksana mendapatkan ilham mengenai masalah ini. Jadi, dia pergi ke kamar biksu yang sakit itu. Biksu yang terbaring itu menatap kepala wihara dengan tatapan nanar pasrah.

“Saya datang ke sini,” kata kepalah wihara, “atas nama seluruh biarawan dan biarawati di wihara ini, juga seluruh umat penyantun kita. Atas nama seluruh orang yang peduli dan mengasihimu, saya datang untuk memberimu izin untuk mati. Kamu tidak harus sembuh.”

Mendengar kata-kata itu, si biksu sakit terisak. Dia telah berupaya keras untuk sembuh. Teman-temannya telah banyak membantu demi kesembuhannya, sehingga dia tidak mau mengecewakan mereka. Dia merasa begitu gagal, begitu bersalah, karena tak kunjung sembuh. Saat mendengar kata-kata sang kepala wihara, seketika dia merasa bebas untuk menjadi orang sakit, bahkan bebas untuk mati. Dia tidak perlu lagi berjuang demikian keras untuk menyenangkan teman-temannya, Kegelapan itu membuatnya menangis.

Menurut Anda, apa yang terjadi kemudian? Semenjak hari itu, kesehatannya mulai membaik.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Penderitaan dan Pelepasan – Sebuah Nasihat Bila Anda Sakit

Pada tahun kedua menjadi biksu di Thailand timur laut, saya jatuh sakit terkena tifus. Demamnya begitu tinggi, sehingga saya harus mondok di bangsal biksu di sebuah rumah sakit di Ubon. Pada waktu itu, pertengahan tahun 1970-an, Ubon adalah wilayah terpencil dan tertinggal dari sebuah desa yang sangat miskin. Merasa lemah dan muram, dengan jarum infus di lengan, saya memerhatikan perawat pria meninggalkan posnya pada pukul enam sore. Setengah jam kemudian, penggantinya tak kunjung tiba, jadi saya bertanya pada biksu di ranjang sebelah apakah kita perlu memanggil petugas bahwa perawat jaga malam belum datang. Saya segera diberi tahu bahwa di bangsal biksu tidak pernah ada perawat jaga malam. Jika anda mengalami hal-hal buruk pada malam hari, itu cuma dianggap karma buruk saja. Jatuh sakit saja sudah cukup buruk, tambah parah lagi, saya sekarang jadi ketakutan!

Selama empat minggu berikutnya, setiap pagi dan sore seorang perawat yang badannya sebesar kerbau air akan menyuntikkan antibiotik di pantat saya. Ini adalah rumah sakit umum miskin di daerah terbelakang negara dunia ketiga, jadi jarum suntik akan digunakan berulang kali lebih sering daripada yang diperbolehkan di bangkok. Perawat berlengan kekar itu akan mencobloskan jarum suntuk kedalam daging dengan kekuatan penuh. Para biksu diharapkan tabah, tetapi pantat saya tidak tabah, pantat saya terasa sangat nyeri. Saat itu saya jadi benci kepada si perawat itu.

Saya kesakitan, saya lemah, dan merasa tak pernah sesengsara itu dalam hidup saya. Lantas, pada suatu hari, Ajahn Chah datang ke bangsal biksu untuk menjenguk saya. Untuk menjenguk saya! Saya merasa sangat tersanjung dan terkesan. Saya merasa bangga. Saya merasa hebat – sampai Ajahn Chah membuka mulutnya. Apa yang dia katakan, yang belakangan saya ketahui, adalah apa yang juga dia katakan tiap kali
menjenguk biksu-biksu yang sedang berbaring di rumah sakit.

Dia berkata kepada saya,” Kalau kamu tak sembuh, kamu akan mati.”

Lalu, dia pun berlalu.

Pupus sudah kegembiraan saya. Buyar sudah sukacita saya dibesuk. Parahnya, Anda tidak bisa menyalahkan Ajahn Chah. Apa yang dikatakannya adalah kebenaran mutlak. Kalau saya tak sembuh, saya akan mati. Pada setiap pilihan itu, ketidaknyamanan karena penyakit tak akan berlanjut lagi. Sungguh mengejutkan, hal itu begitu menenteramkan. Sebagaimana yang terjadi, saya sembuh alih-alih sekarang. Sungguh guru yang hebat, Ajahn Chah itu.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita
April 2024
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  
terbanyak dipilih
  • None