Penderitaan dan Pelepasan – Malangnya Saya, Untungnya Mereka

Kehidupan sebagai biksu junior di Thailand serasa begitu tidak adil. Biksu senior mendapatkan makanan terbaik, duduk di tempat paling empuk, dan tidak perlu mendorong-dorong gerobak sorong. Sementara, satusatunya makanan harian saya tidak mengundang selera; saya harus duduk berjam-jam dalam sebuah upacara di lantai semen yang keres (yang juga tidak rata, karena penduduk desa payah dalam menyemen); dan kadangkadang saya harus bekerja sangat keras. Malangnya saya, untungnya mereka.

Saya menghabiskan waktu yang lama dan tidak menyenangkan untuk memikirkan keluhan saya. Biksu senior mungkin sudah begitu tercerahkan, jadi makanan enak percuma saja bagi mereka, seharusnya saya mendapat makanan terbaik. Biksu senior sudah terbiasa duduk bersila di lantai keras selama bertahun-tahun, karena itu sayalah yang seharusnya duduk di tempat empuk. Lebih lanjut, biksu senior gemukgemuk
karena makan makanan yang enak-enak, jadi sudah memiliki “bantalan alam” sendiri. Biksu senior cuma bisa omong bahwa biksu junior harus kerja, tetapi mereka sendiri tak pernah kerja., jadi bagaimana mereka bisa mengerti betapa panas dan capainya mendorong kereta sorong itu? Proyek-proyek itu adalah gagasan mereka, jaid seharusnya merekalah yang bekerja! Malangnya saya, untungnya mereka,.

Ketika saya sudah menjadi biksu senior, saya makan-makanan terbaik, duduk di tempat yang empuk, dan hanya sedikit bekerja fisik. Namun, ternyata saya malah iri kepada biksu-biksu junior. Mereka tidak perlu memberikan ceramah, tidak perlu seharian mendengarkan keluhan umat, dan tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam untuk urusan administrasi. Mereka tidak banyak tanggung jawab dan mereka punya begitu banyak waktu luang. Saya jadi berpikir, “Malangnya saya, untungnya mereka!”

Segera saya tersadar apa yang terjadi. Biksu junior memiliki “derita biksu junior”. Biksu senior memiliki “derita biksu senior”. Sewaktu saya menjadi biksu senior, saya hanyalah mengganti satu bentuk derita ke bentuk derita lain.

Ini persis sama untuk para bujangan yang iri kepada mereka yang sudah menikah, dan mereka yang sudah menikah iri kepada mereka yang masih bujang. Dari sini kita seharusnya mengerti sewaktu kita menikah, kita hanyalah mengganti “derita bujangan” dengan “derita orang kimpoi”. Sewaktu kita bercerai, kita hanyalah mengganti “derita orang kimpoi”, dengan “derita orang yang tidak lagi kimpoi”. Malangnya saya, untungnya mereka.

Sewaktu kita miskin, kita iri kepada mereka yang kaya. Namun, banyak orang kaya yang iri kepada persahabatan tulus dan keterbebasan dari beban tanggung jawab yang dipunyai oleh mereka yang miskin. Menjadi kaya hanyalah mengganti “derita orang miskin” dengan “derita orang kaya:. Pensiun dan penurunan penghasilan hanyalah mengganti “derita orang kaya” dengan “derita orang miskin”. Begitu seterusnya…. Malangnya saya, untungnya mereka.

Berpikir bahwa Anda akan bahagia dengan menjadi sesuatu yang lain, hanyalah khayalan. Menjadi sesuatu yang lain hanyalah mengganti satu bentuk derita ke bentuk derita lainnya. Namun, saat Anda merasa berkecukupan dengan apa adanya diri Anda, junior atau senior, kimpoi atau bujang, kaya atau miskin, maka Anda terbebas dari derita. Untungnya saya, Malangnya mereka.

Tagged with: , , ,
Posted in Books, Cerita

Penderitaan dan Pelepasan – Pengalaman Angkut Mengangkut

Saya merenguk pelajaran tak ternilai tentang ” Bagian terberat dari segala sesuatu dalam hidup adalah memikirkannya” pada awal-awal masa kebiksuan saya di Thailand Timur laut. Ajahn Chah tengah membangun aula upacara baru untuk wiharanya dan banyak biksu ikut membantu pekerjaan itu. Ajahn Chah suka menguji kami dengan mengatakan bahwa setiap biksu harus bekerja keras sepanjang hari dengan upah satu atau dua botol Pepsi saja, yang mana jauh lebih murah ketimbang menyewa buruh dari kota. Sering saya berpikir untuk membentuk serikat buruh beranggotakan biksu-biksu junior.

Aula upacara itu dibangun di atas bukit buatan para biksu. Karena itu, ada banyak gundukan sisa tanah. Ajahn Chah memanggil kami dan mengatakan bahwa dia ingin sisa tanah itu dipindahkan ke belakang wihara. Selama tiga hari berikutnya, bekerja dari pukul 10 pagi sampai hari benar-benar gelap, kami menyekop dan mengangkut tanah tersebut dengan gerobak sorong ke tempat yang diinginkan oleh Ajahn Chah. Saya senang saat pekerjaan tersebut akhirnya selesai juga.

Pada hari berikutnya, Ajahn Chah pergi untuk mengunjungi wihara lain selama beberapa hari. Setelah dia pergi, wakil kepala wihara memanggil kami dan memberi tahu kami semua bahwa tanah itu berada di tempat yang keliru dan harus segera dipindahkan. Saya jadi jengkel, tetapi saya berhasil mengatasi kejengkelan ketika kami semua bergotong-royong selama tiga hari lagi di terik musim tropis.

Baru saja kami selesai memindahkan timbunan tanah itu untuk kedua kalinya, Ajahn Chah pulang. Dia memanggil semua biksu dan berkata, “Mengapa kalian memindahkan tanah ke situ? Saya kan bilang bahwa tanah itu harus dipindahkan ke sana. Ayo pindahkan kembali!”

Saya marah. Saya naik pitam. Saya ingin berontak. “Tidak bisakah biksubiksu sepuh itu berunding dahulu di antara mereka? Ajaran Buddha semestinya kan sebuah agama yang teratur, tetapi wihara ini sungguh tak keruan, bakah mengatur pembuangan kotoran saja tak becus! Mereka tak bisa memperlakukan saya seperti ini!”

Tambah tiga hari lagi. Hari-hari yang melelahkan telah terbayang di pelupuk mata saya. Sembari mendorong gerobak sorong yang berat, saya mengutuk dalam bahasa Inggris supaya biksu-biksu Thai tidak paham. Ini sudah keterlaluan. Kapan semua ini selesai?

Saya mulai memperhatikan bahwa makin saya marah, makin berat pula rasanya gerobak yang saya sorong. Seorang rekan biksu melihat saya sedang mengomel, dia menghampiri dan berkata kepada saya, “Masalahmu adalah karena kamu terlalu banyak berpikir!”

Betul juga dia. Begitu saya berhenti meratap dan merengek, gerobak sorong itu terasa jauh lebih ringan. Saya menghikmahi pelajaran yang saya terima itu. Memikirkan soal mengangkut tanah adalah bagian yang terberat; mengangkut tanahnya sendiri mudah.

Sampai hari ini, saya curiga bahwa jangan-jangan Ajahn Chah dan wakilnya memang sedari semula telah merencanakan ini semua.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Penderitaan dan Pelepasan – Yang Terberat Dalam Hidup

Orang2 jaman sekarang terlalu banyak berpikir. Kalau saja mereka sedikit mengurangi proses berpikir mereka, barangkali hidup mereka akan mengalir jauh lebih lancar.

Di Vihara kami di Thailand, satu malam setiap minggu, para biksu begadang tidak tidur untuk bermeditasi sepanjang malam di aula utama. Ini adalah bagian dari tradisi pertapa hutan. Ini tidaklah terlalu berat karena kami selalu bisa tidur pada pagi harinya.

Suatu pagi, sesudah semalaman bermeditasi, ketika kami bersiap kembali ke pondok masing-masing untuk tidur, kepala vihara memanggil seorang biksu junior kelahiran Australia. Betapa kesalnya dia karena kepala vihara memberinya setumpuk besar jubah untuk dicuci, seraya menyuruh untuk mengerjakannya sekarang juga. Sudah menjadi tradisi kami untuk membantu kepala vihara mencuci jubahnya dan melayaninya melakukan hal-hal kecil lainnya.

Ini merupakan tumpukan cucian yang banyak. Lebih-lebih, seluruh cucian harus dikerjakan dengan cara tradisional ala biksu hutan. Air harus ditimba dari sumur, bikin api besar, dan mendidihkan air. Potongan kayu dari pohon nangka dibelah-belah dengan parang. Bilah-bilah kayu tsb dimasukkan kedalam air mendidih untuk mengeluarkan sarinya, yang akan berfungsi sebagai “deterjen”. Lalu setiap jubah diletakkan secara terpisah didalam sebuah bak kayu yang panjang, kemudian air mendidih kecoklatan itu disiramkan kedalamnya, dan jubah dipukul-pukul dengan tangan sampai bersih. Biksu kemudian harus mengeringkannya dibawah sinar matahari, membolak-baliknya agar pewarna alaminya tidak luntur.
Mencuci satu jubah saja membutuhkan proses yang lama dan

Saya datang ke pelataran tempat mencuci itu untuk membantunya. Sesampai disana, dia sedang memaki-maki dan merutuk, lebih condong ke tradisi Brisbane daripada tradisi Buddhis. Dia mengeluhkan betapa tidak adil dan kejamnya itu. “Tidak bisakah kepala vihara menunggu sampai besok? Tidakkah dia sadar bahwa aku tidak tidur semalaman? Aku tidak menjadi biksu untuk mencuci !” Kata-katanya tidak persis seperti itu, tapi itulah yang masih cukup sopan untuk ditulis disini. merepotkan. Mencuci sebegitu banyak jubah akan memerlukan waktu berjam-jam. Si biksu muda dari Brisbane ini sudah lelah semalaman tidak tidur. Saya merasa kasihan juga kepadanya.

Saat itu terjadi, saya telah menjadi biksu selama beberapa tahun. Saya memahami apa yang dia alami dan tahu jalan keluar dari permasalahannya. Saya berkata kepadanya, “Memikirkannya, jauh lebih berat daripada mengerjakannya”.

Dia terdiam dan memandang saya. Setelah hening sejenak, tanpa berkata apa-apa dia kembali bekerja, dan saya pergi tidur. Belakangan pada hari itu, dia menemui saya untuk mengucapkan terima kasih atas bantuan saya mencuci jubah. Memang benar, dia paham, bahwa memikirkannya adalah bagian yang terberat. Ketika dia berhenti mengeluh dan hanya menggarap cuciannya, sama sekali tidak ada masalah.

Bagian terberat dari segala sesuatu dalam hidup adalah …..memikirkannya.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Kebebasan dan Kerendahan Hati – Si Idiot

Seseorang menyebut Anda idiot. Maka Anda mulai berpikir, Bagaimana mereka bisa menyebutku idiot? Mereka tak berhak menyebutku idiot! Betapa kasarnya menyebutku idiot! Akan kubalas mereka karena telah menyebutku idiot!

Dan tiba-tiba saja Anda sadar bahwa Anda telah membiarkan mereka begitu saja menyebut Anda sebagai idiot sebanyak empat kali lagi!

Setiap kali Anda ingat apa yang telah mereka katakan, berarti Anda mengizinkan mereka menyebut Anda idiot. Di sinilah letak masalahnya.

Jika seseorang menyebut Anda idiot dan dengan segera Anda membiarkannya berlalu, maka ejekan tersebut tidak akan mengusik Anda. Di sinilah letak solusinya.

Mengapa membiarkan orang lain mengendalikan kebahagiaan dalam diri Anda ?

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Kebebasan dan Kerendahan Hati – Menikmati Lelucon Tanpa Melecehkan Siapa pun

Ketika anda menyingkirkan ego anda, maka tak ada seorang pun yang bisa melecehkan anda. Jika seseorang menyebut anda bodoh , satusatunya alasan kenapa anda merasa terusik adalah karena anda percaya bahwa jangan-janga mereka itu benar!

Beberapa tahun silam, takkala saya sedang berkendara di sepanjang jalan raya di Perth, sekelompok anak muda disebuah mobil sport tua memerhatikan saya dan mulai mengejek memulai jendela mobil mereka dibuka, Hei, plontos! Oi, kepala botak! Selama mereka mencoba memanas-manasi, saya saya menurunkan kaca jendela mobil yang saya tumpangi dan berteriak balik, Cukur sana! Kamu kaya cewe aja! Seharusnya saya tak berbuat seperti itu, karena itu malah menambah semangat mereka saja.

Anak-anak muda itu lantas menyetir mobilnya disamping mobil yang saya tumpangi, mengeluarkan sejumlah masalah dan, dengan mulut terbuka lebar, mulai melambai-lambai liar untuk menarik perhatian saya supaya melihat gambar dimajalah itu. Itu adalah sebuah majalah Playboy.

Saya menertawakan selera humor mereka yang kurang ajar itu. Saya pun akan bertingkah seperti mereka dan mereka ketika seumuran mereka dan sedang pergi bersama teman-teman. Setelah melihat saya tertawa, mereka segera berlalu. Tertawa pada saat kita diejek adalah alternatif yang baik ketimbang menolak pelecehan.

Dan apakah saya melihat gambar dimajalah Playboy tersebut? Tentu saja tidak saya kan biksu baik-baik…. Tetapi, bagaimana saya bisa tahu bahwa itu adalah majalah Playboy? Karena sopir sayalah yang bilang. Yah, begitulah ceritanya.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Kebebasan dan Kerendahan Hati – Palu

Suatu hari saat berjalan melintasi halaman vihara, saya menemukan sebuah palu tergeletak di sana. Palu itu jelas sudah cukup lama berada di situ, kelihatan dari karatnya. Saya sangat kecewa dengan kecerobohan rekan-rekan biksu. Segala yang kami gunakan adalah sumbangan. Maka, sungguh tak benar memperlakukan pemberian para penyokong dengan seenaknya.

Saya menghadiahi pecutan lidah kepada rekan-rekan biksu. Mereka perlu diberi pelajaran, agar menjaga barang-barang. Ketika saya selesai mengoceh, semua biksu duduk tegak, diam dengan muka kelabu. Saya menunggu sejenak, berharap si terdakwa mengakui perbuatannya. Tetapi tak seorang pun mengaku.

Saat saya berjalan keluar aula, tiba-tiba saya tersentak sadar mengapa tak seorang pun dapat dimintai pertanggungjawaban. Saya segera kembali ke aula. “Para biksu,” saya mengumumkan, “Saya telah menemukan siapa yang meninggalkan palu di halaman. Orang itu adalah… saya!”

Saya benar-benar lupa, saya pernah bekerja memakai palu itu, tetapi karena tergesa-gesa, saya meninggalkan palu di halaman. Bahkan selama berkata-kata pedas tadi, ingatan saya masih kabur. Baru setelah selesai bicara, semua kembali kepada saya. Saya telah bertindak ceroboh. Ooooh, betapa memalukan!

Untunglah, di vihara kami ada kebijakan bahwa para biksu dimaklumi jika melakukan kesalahan. Kita semua melakukan kesalahan dari waktu ke waktu. Hidup adalah pembelajaran untuk terus mengurangi kesalahan.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Kebebasan dan Kerendahan Hati – Hare Krishna

Pada cerita sebelumnya, ego si dokter menyebabkan dia berprasangka buruk terhadap peringatan yang diberikan oleh seorang petani ang baik hati. Pada cerita berikut ini, ego saya telah menyebabkan saya berprasangka buruk kepada orang baik hati lainnya, sesuatu yang membuat saya menyesal.

Saya barusan mengunjungi ibu saya di London. Beliau berjalan bersama saya menuju stasiun kereta api ealing broadway untuk membantu saya mengurus tiket. Di tengah jalan menuju stasiun, di jalan Ealing High yang ramai, saya mendengar seseorang mencemooh,” Hare Krishna! Hare Krishna!”

Karena menjadi biksu berkepala gundul dan berjubah cokelat. Saya sering disalahsangkai sebagai pengikut Gerakan kesadaran Krishna. Beberapa kali di Australia, orang-orang kampungan mencoba mengejek saya, biasanya dari jarak yang cukup aman, dengan berteriak ” Hare Krishna, Hare Krishna!” dan meniru-nirukan penampilan saya. Saya cepat-cepat mengarahkan pandangan ke orang yang berteriak, “Hare Krishna!” dan
memutuskan untuk bertindak tegas dengan menegurnya atas pengunaan di depan umum terhadap seorang biarawan Buddhis yang baik ini.

Dengan Ibu di belakang saya, saya berkata kepada pemuda yang mengenakan jin, jaket, dan kopiah itu, ” Lihat, Bung! Saya seorang biksu, bukan pengikut ‘Hare Krishna’. Harusnya anda tahu. Jangan asal teriak ‘Hare Krishna’ kepada saya!”

Pemuda itu tersenyum dan melepaskan kopiahnya, memperlihatkan kucir panjang dibagian belakang kepalanya yang gundul. ” Iya, saya tahu!” katanya.” Anda seorang Biksu. Saya seorang Hare Krishna.Hare Krishna!Hare Krishna!”

Ternyata dia sama sekali tidak sedang mencemooh saya, dia hanya melaksanakan ritual Hare Krishna-nya saja. Saya benar-benar kehilangan muka. Kenapa sih hal-hal semacam ini hanya terjadi ketika kita sedang bersama ibu kita?

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Kebebasan dan Kerendahan Hati – Babi Jalanan

Ngomong-ngomong soal babi, seorang dokter spesialis yang kaya baru saja membeli sebuah mobil sport baru yang tangguh dan sangat mahal. Tentu saja, Anda tidak akan mengeluarkan begitu banyak uang untuk membeli mobil tenaga besar hanya untuk dikendarai didalam kota yang lalu lintasnya lambat. Jadi, pada suatu hari yang cerah, dia berkendara keluar kota menuju pedesaan yang sepi. Begitu mencapai zona bebas kamera pengintai kecepatan, dia menekan habis pedal gas dan menikmati sentakan kecepatan mobil sportnya. Dengan mesin yang meraung-raung dan decit kelebat kendaraan di sepanjang jalan desa, si dokter tersenyum, melambung menikmati kecepatan tinggi.

Namun, seorang petani kucel yang sedang bersandar di sebuah gerbang kandang, ternyata tak ikut-ikutan melambung nikmat. Dia berteriak sekeras-kerasnya untuk mengalahkan raungan mesin mobil sport itu, Baaabiiii!!!

Si dokter tahu bahwa dia sudah bertingkah ugal-ugalan, benar-benar tak peduli akan ketenangan sekitarnya, tetapi dia berpikir, Persetan! Gue berhak menikmati kesenangan gue sendiri!.

Lalu dia menoleh dan berteriak kepada si petani, Lu yang babi!!!

Dalam sekejab saja, saat dia tidak mengarahkan pandangan ke jalan, mobilnya menabrak seekor babi di tengah jalan !

Mobil sport barunya ringsek berat. Dan senasib dengan si babi, dia harus mondok beberapa minggu di rumah sakit dan kehilangan banyak uang untuk itu, begitu pula untuk mobilnya.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Kebebasan dan Kerendahan Hati – Ketika Saya Mencapai Pencerahan

Pada tahun keempat saya menjadi biksu di Thailand, saya berlatih lama dan berat di sebuah vihara hutan yang terpencil di timur laut. Suatu hari, di tengah malam, saat meditasi jalan, pikiran saya menjadi luar biasa jernih. Pandangan cerah mengalir bagaikan air terjun di pegunungan. Dengan mudah saya memahami misteri-misteri yang selama ini tidak saya pahami. Ini dia! Pencerahan!

Rasa bahagianya tidak seperti apa pun yang saya ketahui sebelumnya. Ada banyak sukacita, di saat bersamaan, semua serba damai. Saya bermeditasi sampai sangat larut, tidur singkat sekali, dan bangun untuk melanjutkan meditasi lagi. Kesadaran mengalir sangat tajam laksana pisau bedah dan konsentrasi dengan mudah terpusat. Namun, sungguh sayang hal itu tak bertahan lama.

Di Thailand timur laut makanannya begitu memualkan. Biasanya, hidangan utama kami setiap hari adalah kari ikan busuk – ikan kecil-kecil yang ditangkap selama musim hujan, disimpan dalam gentong tanah liat, dan digunakan sepanjang tahun. Pada hari pasca-pencerahan saya, saya melihat ada dua panci kari sebagai lauk. Panci yang satu berisi kari ikan busuk seperti biasanya, sedangkan panci lainnya berisi kari daging babi
yang layak makan.

Kepala vihara memilih makanannya sebelum saya. Ia mengambil tiga sendok besar kari daging babi yang lezat. Sebelum menyerahkan sendok lauk kepada saya, ia mulai mencampur kari daging babi yang menggiurkan itu ke dalam panci kari ikan busuk. “Kan sama saja!” katanya sambil mengaduk-aduk.

Saya terdiam. Dalam hati saya menggerutu. Jika dia benar-benar berpikir “kan sama saja,” mengapa dia lebih dulu mengambil tiga sendok kari daging babi untuk dirinya sendiri, sebelum mencampuradukkannya? Dasar curang!

Lalu, sebuah penyadaran menghantam saya. Orang yang tercerahkan tak akan memilih-milih makanan, pun tak mungkin marah dan menyumpahi kepala viharanya, meskipun cuma dalam hati. Api kemarahan saya tiba – tiba dipadamkan oleh guyuran hujan kesedihan. Awan-awan gelap kekecewaan menggulung di hati dan menutupi sinar mentari pencerahan saya. Saya mengambil dua sendok kari ikan busuk yang sudah bercampur kari daging babi. Saya tak peduli lagi apa yang saya makan. Saya begitu
sedih menyadari kenyataan bahwa saya belum mencapai pencerahan.

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita

Kebebasan dan Kerendahan Hati – Pelecehan & Pencerahan

Guru-guru meditasi yang berpengalaman sering harus berhadapan dengan siswa-siswa yang mengklaim diri mereka telah mencapai pencerahan. Salah satu cara ampuh untuk menguji apakah klaim tersebut benar atau tidak adalah dengan melecehkan si murid sedemikian rupa sehingga mereka akhirnya menjadi marah. Seperti yang telah diketahui oleh semua biarawan dan biarawati Buddhis, Buddha dengan jelas menyatakan bahwa siapa pun yang masih bisa marah, pastilah belum tercerahkan.

Seorang biksu Jepang muda, berkeinginan kuat untuk mencapai Nirwana dalam kehidupan ini juga, mengasingkan diri untuk bermeditasi di sebuah pertapaan, di sebuah pulau di tengah telaga, tak jauh dari sebuah wihara terkenal. Dia ingin tercerahkan sedini mungkin dalam hidupnya, setelah itu dia bisa mengurusi hal-hal lainnya.

Ketika pelayan wihara datang dengan sampan kecilnya untuk mengantarkan pasokan mingguan, si biksu muda menitipkan pesan untuk meminta beberapa helai kertas perkamen yang mahal, sebuah pena bulu ayam, dan sebotol tinta bermutu tinggi. Dia akan segera mengakhiri tiga tahun pertapaan dalam kesunyiannya dan ingin mengabari kepala wihara betapa hebat pencapaiannya.

Perkamen, pena bulu ayam, dan sebotol tinta tiba pada minggu berikutnya. Beberapa hari kemudian, setelah meditasi dan merenung mendalam, si biksu muda menulis sebuah puisi pendek dalam kaligrafi yang sangat elok di atas perkamen bagus itu, isinya seperti ini:

Biksu muda yang tekun
Tiga tahun bermeditasi dalam kesendirian
Tak kan tergoyahkan lagi
Oleh empat angin duniawi.

Pastilah, pikirnya, kepala wiharanya yang bijak akan melihat kata-kata ini, dan menyadari betapa cermatnya kata-kata itu ditulis, beliau akan mengetahui bahwa muridnya kini telah tercerahkan. Dengan lembut dia menggulung perkamen itu, mengikatnya dengan seutas pita, dan menunggu kedatangan si pelayan untuk menghantarkan gulungan itu kepada kepala wihara. Sepanjang hari-hari penantian itu, dia membayangkan sang kepala wihara akan gembira sekali membaca puisi cemerlang itu, yang digoreskan dengan sangat cermat. Dia membayangkan puisi itu akan diberi bingkai yang mahal dan digantung di aula utama di wihara. Tak diragukan lagi, mereka pasti akan memaksanya menjadi kepala wihara, mungkin untuk mengepalai sebuah wihara kota yang terkenal. Betapa indah rasanya keberhasilannya ini!

Ketika si pelayan mendayung kembali sampannya ke pulau itu untuk mengantarkan pasokan mingguan, si biksu muda sudah menantinya. Si pelayan segera menyerahkan segulung perkamen yang mirip dengan yang dahulu dia kirimkan, tetapu yang ini diikat dengan pita yang berbeda warna.”Dari kepala wihara,” kata si pelayan dengan cepat.

Dengan bersemangat si biksu muda merobek pita pengikat perkamen itu dan merentangkan gulungannya. Saat matanya menatap perkamen itu, seolah-olah perkamen itu terus membentang selebar bulan, dan wajahnya pun memucat. Itu adalah perkamennya sendiri, tetapi di sebelah baris pertama kaligrafinya yang elok, dengan sangat sembarangan sang kepala wihara telah menuliskan sebuah kata dengan pena marah:” Kentut!” Di baris ketiga terdapat kekurangajaran lain:
“Kentut!” ketika gulungan berakhir, begitu pula di baris keempat sajak tersebut.

Ini keterlaluan! Si tua bangka itu bukan cuma goblok banget sampai tidak mengenali pencerahan yang ada di depan hidung besarnya sendiri, tetapi dia pun telah berlaku kurang ajar dan tak beradab karena menghancurkan sebuah karya seni dengan coretan-coretan tak senonoh. Sang kepala wihara telah bertingkah laku seperti preman, bukan seperti biksu. Ini adalah pelecehan terhadap seni, tradisi, dan kebenaran.

Mata si biksu menyipit dengan sengitnya, mukanya menjadi merah padam, dan sembari mendengus dia berkata dengan tegas kepada si pelayan, “Antarkan aku kepada kepala wihara! Sekarang juga!”

Itu adalah pertama kalinya dalam tiga tahun si biksu muda meninggalkan pulau pertapaanya. Dalam kemarahannya, bagai amukan badai dia menerjang masuk ke kantor kepala wihara, melemparkan perkamen itu ke atas meja, dan menuntut penjelasan.

Dengan lembut, sang kepala wihara yang berpengalaman itu memungut gulungan perkamen tersebut, berdehem, dan membaca puisi yang tertulis di atasnya:

Biksu muda yang tekun
Tiga tahun bermeditasi dalam sendiri
Tak kan tergoyahkan lagi
Oleh empat angin duniawi.

Lalu, dia meletakkan kembali perkamen tersebut, menatap si biksu muda, dan melanjutkan,:Hmm! Jadi, Biksu Muda, kamu tak tergoyahkan lagi oleh empat angin duniawi! Tetapi empat kentut kecil saja sudah meniupmu menyeberangi telaga!”

Tagged with: , ,
Posted in Books, Cerita
May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  
terbanyak dipilih
  • None